Mengapa Penundaan Pemilu 2024 Harus Ditolak?

Ridho Al-Hamdi

Wakil Dekan FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Wakil Ketua LHKP PP Muhammadiyah, dan Inisiator PUSDEPPOL

Tiga ketua umum partai politik, Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar), dan Zulkifli Hasan (PAN) telah mengemukakan wacana usulan pengunduran Pemilu 2024. Sebelumnya, usulan serupa muncul dari lontaran Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia. Sedangkan partai yang lain masih wait and see dan melihat ke mana arah mata angin berhembus. Itulah sifat dasar politik: dinamis, rumit, dan sulit ditebak.

Munculnya wacana ini bisa dipahami, bahwa sebagian elite partai seakan sedang melakukan “tes ombak” (testing the water) untuk melihat situasi terbaru di akar rumput. Selain itu, sejumlah tokoh yang berambisi maju Capres seolah buying time karena namanya tidak muncul dalam radar survei. Siapa tahu dengan mengulur waktu, nama mereka muncul dalam radar survei tersebut. Bisa jadi juga, ini semacam orkestra Orde Baru di balik selimut Orde Reformasi. Inilah yang perlu dipahami publik agar tidak menguras energi hanya karena menanggapi atraksi drama para politisi.

Lima alasan penolakan

Tulisan ini mencoba mengajukan sejumlah gagasan untuk menjawab pertanyaan: Mengapa penundaan Pemilu 2024 harus ditolak? Alasan pertama: penundaan Pemilu 2024 adalah tindakan inkonstitusional. UUD 1945 pasal 22E jelas menyatakan, bahwa “pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Pasal ini menegaskan, bahwa siklus pemilu adalah setiap lima tahun sekali, bukan enam apalagi tujuh atau delapan tahun sekali.

Karena itu, siapapun mereka termasuk presiden dan para menteri, jika tidak sesuai dengan UUD 1945, mereka adalah pelanggar konstitusi. Presiden Jokowi harus tegas dan tidak sekedar menjadikan isu ini sebagai drama panggung yang semakin menegaskan julukan King of Lip Service yang diberikan oleh rekan-rekan mahasiswa dari BEM Universitas Indonesia.

Alasan kedua: regulasi dibuat untuk membatasi bukan memperpanjang. Posisi presiden di Indonesia dijabat oleh orang yang sama maksimal selama dua periode berturut-turut. Jika Jokowi ingin maju lagi, jangan khawatir, Pilpres 2029 adalah kesempatan selanjutnya untuk tampil lagi di pentas nasional.

Pembatasan jabatan ini juga sebagai langkah preventif untuk tidak merasa memiliki kekuasaan selamanya yang bisa berdampak pada tindakan koruptif atau perilaku penyelewangan kekuasaan seperti ungkapan profesor sejarah dari Inggris, Lord Acton: power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut pula). Korup tidak hanya tindakan mencuri harta rakyat/APBN/APBD tetapi juga merupakan tindakan penyelewengan kekuasaan akibat merasa bahwa kekusaan itu miliknya karena begitu lama berada di jabatan tersebut.

Geogre Washington, presiden pertama Amerika Serikat yang menjabat dua periode secara beruturt-turut tahun 1789-1797, pernah ditawari lagi maju sebagai presiden untuk periode yang ketiga. Dia lalu menjawab: “Kalau sebagai founder kita tidak meninggalkan keteladanan, mau jadi apa demokrasi negara kita”. Sekiranya Jokowi dan elite partai politik dapat meneladani sikap presiden pertama Amerika tersebut.

Alasan ketiga: situasi pandemi Covid-19 tidak lagi relevan menjadi alasan penundaan Pemilu 2024 karena tahun 2020 Indonesia pernah memaksa penyelenggaraan Pilkada Serentak dan setidaknya berjalan lancar meski huru-hara kecil terjadi. Rekan-rekan Perludem sangat mendukung alasan ketiga ini.

Jika Yusril Ihza Mahendra mengemukakan dalam tulisannya yang beredar di media sosial pada 26 Februari 2022, bahwa dasar paling kuat untuk menunda pemilu adalah amandemen UUD 1945 dan mengusulkan penambahan pasal baru (tanpa menghapus pasal yang sudah ada) terkait klausul “jika terjadi perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam, dan wabah penyakit yang sulit diatasi, pemilu dapat ditunda” juga tidak cukup kuat. Korea, Amerika Serikat, dan Jerman adalah sederet negara yang tidak menjadikan situasi pandemi menunda pemilu mereka.

Alasan keempat: wacana penundaan Pemilu 2024 yang disampaikan oleh ketua umum partai politik menunjukkan matinya fungsi partai sebagai jembatan untuk mengartikulasikan harapan publik ke pemerintah dan ruang untuk melahirkan pemimpin baru. Penundaan tersebut berarti menumpulkan fungsi artikulator dan menyumbat lahirnya para pemimpin baru yang justru bisa jadi lebih baik dari kepemimpinan yang ada saat ini.

Kenyataan ini memang tidak bisa dipisahkan dari tren global mutakhir di berbagai negara demokrasi tentang munculnya fenomena presidentialized parties (personalisasi partai politik). Fenomena ini mengungkap adanya sosok pemimpin yang kuat dan mampu mengebiri prosedur dan mekanisme yang sudah berlaku di tubuh partai politik. Kita sulit memisahkan atara PDIP dan Megawati, Demokrat dan SBY, Gerindra dan Prabowo, Nasdem dan Surya Paloh. Mereka adalah contoh kecil atas fenomena presidentialized parties.

Alasan keempat: penggiringan opini atas survei yang menyatakan baiknya kinerja Presiden Jokowi sehingga perlu perpanjangan periode. Perlu diakui, memang kinerja Jokowi baik dalam hal pembangunan fisik (meski menyisakan hutang), tetapi tidak pembangunan manusia. Laporan tahunan yang dirilis oleh Freedom House dan Economist Intelligence Unit (EIU) membuktikan, bahwa indeks demokrasi Indonesia dari tahun ke tahun semakin memburuk terutama pada aspek kebebasan sipil.

Kasus pembunuhan terhadap aktivis FPI, pembubaran HTI, penggebukan kelompok oposisi dan gerakan kritis terhadap rezim, serta kekerasan terhadap warga sipil dalam kasus agraria di Desa Pakel Banyuwangi dan Desa Wadas Purworejo adalah sederet bukti buruknya aspek kebebasan sipil era Jokowi. Ancaman terhadap ulama dan sikap ugal-ugalan atas pengesahan RUU Omnibuslaw Cipta Kerja adalah bukti lain yang memperkuat pengebirian terhadap kebebasan sipil di republik ini.

Alasan kelima: ada banyak catatan buruk yang disampaikan para Indonesianis terhadap perkembangan mutakhir demokrasi era Jokowi. Vedi R. Hadiz, Greg Fealy, Marcus Mietzner, Thomas Power, Jeffry Winter, dan Andreas Ufen adalah sebagian dari para Indonesinis yang berada pada garis yang sama, bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran.

Bahkan, Vedi R. Hadiz dalam acara refleksi akhir tahun 2021 yang diselenggarakan oleh MHH dan LHKP PP Muhammadiyah mengatakan: “Dua tahun ini (2019-2021), yang terjadi bukan regresi (kemunduran) demokrasi tetapi kulminasi dari penancapan kekuasaan oligarki di lingkungan demokrasi. Oligarki mengalami evolusi dan saat ini berada pada titik yang lebih tinggi dari 2004. Semua struktur masih dikuasai oligarki”.

Apa langkah selanjutnya?

Lima alasan di atas cukup menjadi dasar atas penolakan penundaan Pemilu 2024. Meski Yusril menawarkan tiga cara konstitusional yang dapat ditempuh untuk menunda Pemilu 2024 (amandemen UUD 45, dekrit presiden sebagai tindakan revolusioner, dan menciptakan konvensi ketatanegaraan yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara), mantan Menkumham ini setuju atas tetap dilaksanakannya Pemilu 2024.

Sekjen PDIP Hasto Kristianto dan ketua umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono juga menolak penundaan ini. Begitu juga dengan sikap tegas penolakan PKS dan Nasdem. Namun, cuaca politik masih bisa berubah sewaktu-waktu. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, juga menolak penundaan Pemilu 2024. Mu’ti menghimbau kepada elite politik untuk dapat bersikap bijak dalam merespon wacana penundaan pemilu dan tidak menambah masalah bangsa dengan wacana yang berpotensi melanggar konstitusi.

Jika pada akhirnya para elite politik bersikeras untuk menunda Pemilu 2024, amandemen UUD 1945 adalah jalan yang harus ditempuh. Namun, untuk langkah amandemen, kesepakatan MPR RI tidaklah cukup karena ceritanya mudah ditebak: amandemen pasti terjadi. Karena itu, referendum adalah pilihan terakhir yang dapat menjadi ruang bagi pemilik sah republik ini untuk terlibat aktif dalam pengaturan negara. Siapa itu pemilik sah republik ini? Rakyat, bukan wakil rakyat.

Referendum pernah terjadi akhir-akhir ini di Inggris tahun 2015 ketika mereka ini ingin mengambil keputusan terkait keluarnya (brexit) Inggris dari Uni-Eropa. Begitu juga referendum terjadi di Hongkong sekitar 2018 saat sebagian besar rakyat Kota Hongkong ingin mendeklarasikan kemerdekaan dari Cina. Tidak menutup kemungkinan jika referendum ini terjadi di Indonesia meski tentu membutuhkan energi yang besar.